Selama
ini orientasi dari sebuah usaha adalah untuk mencari keuntungan semata
(profit-oriented). Prinsip dasar yang kemudian diterima secara luas dalam dunia
usaha adalah business is business. Dengan berpegang pada prinsip ini, sebuah
perusahaan bisa menghalalkan segala macam cara untuk bisa meraih keuntungan
yang sebanyak-banyaknya. Sehingga seringkali terjadi gesekan-gesekan
kepentingan baik di dalam internal perusahaan sendiri ataupun antara perusahaan
dengan pihak eksternal.
Belakangan
ini bersama dengan tampilnya etika bisnis, orang mulai menyadari adanya
keterkaitan antara nilai-nilai spiritualitas dengan keberlanjutan dan
perkembangan sebuah usaha. Dalam konteks spiritual bisnis, bisnis bukan hanya
semata-mata persoalan memaksimalkan keuntungan bagi pemilik perusahaan. Tapi
bagaimana bisnis yang dijalankan bisa memberikan keuntungan dan keberkahan
kepada semua pihak yang terlibat di dalamnya. Sehingga pada prakteknya sebuah
usaha melakukan langkah-langkah yang harmonis dengan seluruh partisipan dan
lingkungan tempat perusahaan berada. Singkatnya, para insan bisnis harus sadar
akan nilai-nilai pragmatik nilai-nilai (the pragmatic value of values). Yang
pada masa lalu, nilai-nilai (values) dianggap sebagai sesuatu yang dikotomis
dengan pengelolaan perusahaan.
Dalam
konteks ini, bisnis bukan hanya semata-mata persoalan memaksimalkan keuntungan
bagi pemilik perusahaan. Tapi bagaimana bisnis yang dijalankan bisa
mendatangkan keuntungan yang maksimum bagi pemilik perusahaan yang didapatkan
dan dicapai dengan cara lebih memanusiakan manusia, dan melakukan
langkah-langkah yang harmonis dengan seluruh stakeholder. Lebih dari itu,
belakangan ini banyak ahli bisnis merasa telah menemukan cukup kasus yang
mengungkapkan bukti-bukti bahwa bisnis yang tidak etis pada jangka panjang
menyimpan faktor-faktor yang menghancurkan dirinya sendiri. Adapun
perusahaan-perusahaan yang sangat mementingkan etika tetap langgeng dan
berkembang hingga kini.
Pada
umumnya implementasi dari etika bisnis yang berkembang sekarang ini diwujudkan
dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR). Yaitu sebuah bentuk
kepekaan, kepedulian dan tanggung jawab sosial perusahaan untuk ikut memberikan
manfaat terhadap masyarakat dan lingkungan dimana perusahaan itu beroperasi.
Ada
banyak ragam penafsiran tentang CSR. Salah satunya melihat CSR sebagai komitmen
yang berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk berperilaku secara etis dan
memberi kontribusi bagi perkembangan ekonomi seraya meningkatkan kualitas
kehidupan dari karyawan dan keluarganya serta komunitas lokal dan masyarakat
luas pada umumnya. (CSR: Meeting Changing Expectations, 1999).
Menurut
The World Business Council For Sustainable Development (WBCSD) in Fox, et al
(2002), definisi CSR adalah “corporate social responsibility is the continuing
commitment by business to be have ethically and contribute to economic
development while improving the quality of life of the workforce and their
families as well as of the local community and society at large”, yaitu
komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja
dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut
komuniti-komuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan dalam
rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Peningkatan kualitas kehidupan
mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota masyarakat
untuk dapat menanggapi keadaan social yang ada dan dapat menikmati serta
memanfaatkan lingkungan hidup termasuk perubahan-perubahan yang ada sekaligus
memelihara.
Berdasarkan
pada Trinidad and Tobago Bureau of Standards (TTBS) menyatakan bahwa CSR
diartikan sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara
legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan
kualitas hidup dari karyawan dan keluarga, komunitas lokal dan masyarakat
secara lebih luas.
Sedangkan
Teguh Sripambudi (Puspensos, 2005:18) mengemukakan pengertian CSR dalam versi
Word Bank, dimana CSR adalah komitmen dunia usaha untuk memberikan kontribusi
bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan bekerjasama dengan tenaga kerja dan
organisasi representasinya, dengan masyarakat lokal dan dengan masyarakat dalam
lingkup yang lebih luas, untuk memperbaiki kualitas hidup dengan cara yang
menguntungkan kedua belah pihak baik untuk dunia usaha maupun untuk pembangunan.
Seiring
dengan perkembangan isu lingkungan global, konsep dan aplikasi CSR semakin
berkembang, termasuk di Indonesia. CSR tidak semata menjadi kewajiban sosial
perusahaan, namun juga dikaitkan sebagai konsep pengembangan yang berkelanjutan
(sustainable development) . Sayangnya, dikarenakan belum adanya aturan baku dan
pemahaman yang sama tentang pemberdayaan masyarakat, masih banyak perusahaan
yang melaksanakan CSR hanya sekadar kegiatan yang bersifat insidental, seperti
pemberian bantuan untuk korban bencana, sumbangan, serta bentuk-bentuk kegiatan
charity lainnya. Apa yang disebut sebagai persoalan oleh perusahaan tersebut
cenderung merupakan persoalan dalam konteks sempit, bukan perspektif skala
kebutuhan di wilayah perusahaan tersebut beroperasi. Sehingga CSR tersebut
hanya menuntaskan permasalahan yang belum menjadi prioritas utama. Yang pada
akhirnya persoalan-persoalan yang sangat mendesak justru tidak memperoleh
perhatian. Maka dari itu, sudah seharusnya CSR tidak hanya bergerak dalam aspek
philantropy, melainkan harus merambat naik ke tingkat pemberdayaan masyarakat
(Community Empowerment) dan harus merupakan salah satu bagian policy dari pihak
manajemen perusahaan.
Dalam
hal ini, dunia usaha harus dapat mencontoh perusahaan-perusahaan yang sudah terlebih
dahulu melaksanakan program CSR dalam bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat
miskin. PT. Bogasari, misalnya memiliki program CSR yang terintegrasi dengan
strategi perusahaan, melalui pendampingan para pelaku usah mikro, kecil, dan
menengah (UMKM) berbasis terigu. Seperti yang telah kita ketahui, jika mereka
adalah konsumen utama dari produk perusahaan ini. Demikian juga dengan PT.
Unilever yang memiliki program CSR berupa pendampingan terhadap petani kedelai.
Bagi kepentingan petani, adanya program CSR ini berperan dalam meningkatkan
kualitas produksi, sekaligus menjamin kelancaran distribusi. Sedangkan bagi
Unilever sendiri, hal ini akan menjamin pasokan bahan baku untuk setiap
produksi mereka yang berbasis kedelai, seperti kecap Bango, yang telah menjadi
salah satu andalan produknya.
Terlepas dari banyaknya nada-nada sumbang
tentang wacana filantrofi perusahaan-perusahaan swasta ini dan banyaknya
motif-motif yang mendorong sebuah perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab
sosialnya, CSR merupakan sebuah potensi besar dana non-pemerintah yang harus
kita dukung sebagai embrio transformasi menuju kemandirian masyarakat. Kalau
bisa kita optimalkan baik dari sisi pengalokasian dana maupun dalam proses
pendayagunaannya bisa menjadi salah satu soluli alternatif bagi penyelesaian
permasalahan kemiskinan yang ada di masyarakat. CSR juga bisa menjadi jembatan
antara kepentingan perusahaan dengan kepentingan masyarakat. Sehingga hubungan
perusahaan dengan masyarakat dan lingkungannya bisa berjalan dengan lebih baik,
lebih harmonis dan saling menguntungkan.Sumber : http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/09/12/implementasi-csr-untuk-pemberdayaan-masyarakat/
(diunduh pada tgl 29/10/2012)
0 komentar:
Posting Komentar