Jumat, 30 November 2012

Tugas : Anti “Fraud” di Indonesia Masih Lemah

Diposting oleh depi di 05.33 0 komentar

Presiden Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) Indonesia Chapter, Gatot Trihargo menyanyangkan budaya anti fraud di Indonesia masih lemah,  sehingga angka korupsi masih tinggi. Hal itu tergambar dari paying hukum yang ada masih minim dan hanya industri perbankan dengan peraturan Bank Indonesia ( PBI) yang menegaskan budaya anti fraud.
“Budaya anti fraud yang sudah tersistematik baru di ada diperbankan dengan PBI- nya dan di monitor Bank Indonesia. Seharusnya hal itu diimplementasikan di tempat- tempat lain, “ ujar  Gatot usai seminar nasional “Anti Fraud Culture” di Jakarta, Rabu ( 21/11/12).
Ia dan rekan- rekannya yang tergabung dalam ACFE mendorong untuk menerapkan budaya anti fraud di semua sektor, baik publik maupun private. “Di pemerintahan sudah ada instruksi anti korupsinya,  nah tinggal dimasukan budaya anti fraud-nya disana, karena fraud lebih luas ketimbang korupsi,   “ ujarnya
Titik lemah budaya anti fraud yang ada di lini pencegahan ataun preventif. Kalau sudah di audit,  fraud itu sudah terjadi. Sebaiknya dan harus ditekankan pada pencegahannya.  Sebelum terjadi, fraud kita harus awearness,” katanya.
Pencegahan anti fraud juga terkendala  jumlah pemegang CFE (certified fraud examiners) yang di Indonesia baru 500an. Mereka itu sebagian besar di lembaga pemeriksaan,  seperti BPK  memiliki 127 pemegang CFE, BPKP 90 CFE, KPK 90 dan di KAP serta kementerian lembaga. Sehingga jika secara hitungan kasar,  di setiap kementerian lembaga serta BUMN hanya ada satu orang yang bersertifikat CFE, padahal mereka yang harus mengawangi budaya anti fraud.
Idealnya, kata Gatot setiap kementerian dan lembaga ada 5 -10 orang penyandang gelar CFE. Kalau hanya seorang tidak akan bisa mengembangkan ilmunya, apalagi seorang penyandang CFE dalam melakukan investigasi perlu eksperstis “ jadi soal audit dia bisa lebih dalam lagi , dan kalau setiap terindikasi akan ada fraud dia bisa langsung menyampaikan kepada majamen untuk segera mengambil kebijakan,  “ katanya. (Zis)***

Opini :
fraud adalah proses pembuatan, beradaptasi, meniru atau benda, statistik, atau dokumen-dokumen, dengan maksud untuk menipu. Kejahatan yang serupa dengan penipuan adalah kejahatan memperdaya yang lain, termasuk melalui penggunaan benda yang diperoleh melalui pemalsuan.
penyimpangan kecurangan (fraud) dapat dilakukan baik oleh manajemen puncak maupun pegawai lainnya dengan untuk mendapatkan keuntungan, dengan cara melakukan tindakan-tindakan kriminal seperti korupsi, kolusi, penipuan, dan lain sebagainya. Penyebab terjadinya fraud itu sendiri dibagi menjadi tiga yaitu motivasi, sarana dan kesempatan.
Pada artikel diatas dituliskan bahwa anti fraud di Indonesia masih lemah. menurut saya kenapa anti fraud di indonesia masih lemah karena kurangnya kesadaran dari staf pegawai sampai manajemen puncak mengenai apa itu fraud. Kesadaran untuk melakukan tindakan anti fraud dapat diawali dengan memberikan pengertian yang lebih tentang kerugian dan dampak fraud. Setelah itu, seiring dengan kesadaran yang meningkat, maka diupayakan untuk menghilangkan penyebab fraud. Kemudian melakukan tindakan hukuman dan penghargaan untuk lebih mempercepat peningkatan kesadaran dan budaya kerja tanpa fraud. Dan untuk mengatasi fraud itu sendiri dapat dilakukan dengan dikontrol dan diijaga seperti mengendalikan suasana kerja yang baik di lingkungan kerja, memperketat sistem pengawasan internal. Dan untuk pencegahannya seharusnya pemerintah dan perusahaan yang lain menaruh orang dengan gelar CFE sebanyak 5-10 agar dapat mengatasi fraud dengan benar lagi.



Tugas : Kode etik akuntan indonesia

Diposting oleh depi di 05.31 0 komentar

Disebuah Sekolah SMA tepatnya di kelas 3 IPS 1, seorang guru sedang menjelaskan tentang kode etik akuntan Indonesia.

Guru   : anak-anak apa kalian tau IAI itu apa?
Murid : tidak pak….
Guru   : benar kalian tidak tau…? Baik bapak akan menjelaskan tentang IAI itu apa.
Murid : iy pak…

Dan para muridpun mulai mendengarkan gurunya yang ingin menjelaskan tentang IAI

Guru   : Ikatan akuntan indonesia atau yang sering disingkat menjadi IAI itu adalah sebuah organisasi profesi akuntan di Indonesia. Dan Kantor sekretariatnya terletak di Graha Akuntan, Menteng, Jakarta. IAI pertama kali didirikan pada tanggal 23 Desember 1957, yaitu pada pertemuan ketiga yang diadakan di aula UI pada pukul 19.30. Ketika itu, tujuan IAI adalah: 1. Membimbing perkembangan akuntansi serta mempertinggi mutu pendidikan akuntan. 2. Mempertinggi mutu pekerjaan akuntan. Tetapi Sejak pendiriannya 49 tahun lalu, kini IAI telah mengalami perkembangan yang sangat luas. Salah satu bentuk perkembangan tersebut adalah meluasnya orientasi kegiatan profesi, tidak lagi semata-mata di bidang pendidikan akuntansi dan mutu pekerjaan akuntan, tetapi juga upaya-upaya untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan peran dalam perumusan kebijakan publik.
 Setelah bercerita sedikit tentang sejarah IAI, pak guru pun bertanya pada murid-muridnya.

Guru   : siapa diantara kalian yang tau anggota dari IAI itu sendiri…?, coba angkat tangan jika kalian ada yang tau.
Tasya : saya pak.
Guru   : ya, tasya tolong kamu sebutkan anggota IAI itu apa saja…
Tasya : anggota IAI itu dibagi menjadi “anggota individu, anggota asosiasi, anggota perusahaan, dan anggota junior. Pak”
Guru   : nah anak-anak yang dikatakan Tasya tadi benar, jadi angggota IAI itu terbagi menjadi anggota individu, anggota asosiasi, anggota perusahaan, dan anggota junior…

Setelah pak guru menjelaskan masing-masing dari anggota IAI, Pak guru menlanjutkan ceritanya. Beliau sekarang akan menjelaskan tentang akuntan publik.

Guru   : sekarang bapak akan menjelaskan tentang akuntan publik, tapi sebelum bapak jelaskan… apa diantara kalian ada yang ingin menjadi akuntan publik…?
Murid : saya pak… saya pak…. Saya pak…
Guru   : wah ternyata banyak juga yang ingin menjadi seorang akuntan publik. Hahaha
Murid : iy dong pak. hahahahahaha……

Setelah pak guru menjelaskan mengenai akuntan publik, salah seorang murid bertanya…

Rudi    : pak apakah ada Ketentuan mengenai praktek Akuntan di Indonesia…?
Guru   : tentu saja ada kententuan mengenai praktek akuntan Indonesia.
Rudi    : apa itu pak ?
Guru   : “Ketentuan mengenai praktek Akuntan di Indonesia itu sendiri diatur oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1954 yang mensyaratkan bahwa gelar akuntan hanya dapat dipakai oleh mereka yang telah menyelesaikan pendidikannya dari perguruan tinggi dan telah terdaftar pada Departemen keuangan RI. Untuk dapat menjalankan profesinya sebagai akuntan publik di Indonesia, seorang akuntan harus lulus dalam ujian profesi yang dinamakan Ujian Sertifikasi Akuntan Publik (USAP) dan kepada lulusannya berhak memperoleh sebutan “Bersertifikat Akuntan Publik” (BAP). Sertifikat akan dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Sertifikat Akuntan Publik tersebut merupakan salah satu persyaratan utama untuk mendapatkan izin praktik sebagai Akuntan Publik dari Departemen Keuangan”.
Jadi kalau kalian ingin membuka praktek akuntan, kalian harus mempunyai Sertifikat akuntan publik…
Rudi    : ooo…. Berarti tidak mudah juga ya untuk membuka praktek akuntan.
Guru   : selain persyaratan yang harus dipenuhi. Kalian juga harus tau kode etik akuntan Indonesia yang berlaku… “Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.” Sedangkan “Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya”.
Murid : emmmmm…. Berarti menjadi seorang akuntan publik itu tidah mudahnya.

Pak guru pun hanya tersenyum….

Guru   : kode etik akuntan Indonesia juga mempunyai 8 prinsip…. Apa kalian tau apa saja 8 prinsip tersebut?

Sebagian murid menggelengkan kepala dan sebagiannya lagi hanya diam saja…

Guru   : jadi 8 prinsip kode etika akuntan Indonesia itu terdiri dari “Tanggung Jawab profesi, Kepentingan Publik, Integritas, Obyektivitas, Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional, Kerahasiaan, Perilaku Profesional, dan  Standar Teknis.”

Setelah pak guru menjelaskan 8 prinsip kode etik akuntan Indonesia, tidak terasa waktu sudah menujukkan jam 1:00 siang dan ini berarti saatnya untuk pulang. Murid-murid pun sudah membereskan semua buku-bukunya yang ada di meja, dan kemudian terdengarlah suara bel berbunyi sebagai tanda bahwa murid-murid sudah boleh pulang. Tetapi sebelum pulang pak guru bertanya kembali pada murid-murid, apakah kalian tetap ingin menjadi akuntan publik…? Mereka pun menjawab ada yang tetap menjadi akuntan publik dan ada juga yang memilih yang lainnya. Dan pak guru pun hanya menasehati “ya sudah apapun yang kalian pilih, kalian harus bertanggung jawab dan mematuhi peraturan yang ada”.
Pak guru dan murid-murid pun tersenyum.

Kamis, 01 November 2012

tugas : “Implementasi CSR Untuk Pemberdayaan Masyarakat”

Diposting oleh depi di 23.15 0 komentar



Selama ini orientasi dari sebuah usaha adalah untuk mencari keuntungan semata (profit-oriented). Prinsip dasar yang kemudian diterima secara luas dalam dunia usaha adalah business is business. Dengan berpegang pada prinsip ini, sebuah perusahaan bisa menghalalkan segala macam cara untuk bisa meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Sehingga seringkali terjadi gesekan-gesekan kepentingan baik di dalam internal perusahaan sendiri ataupun antara perusahaan dengan pihak eksternal.
Belakangan ini bersama dengan tampilnya etika bisnis, orang mulai menyadari adanya keterkaitan antara nilai-nilai spiritualitas dengan keberlanjutan dan perkembangan sebuah usaha. Dalam konteks spiritual bisnis, bisnis bukan hanya semata-mata persoalan memaksimalkan keuntungan bagi pemilik perusahaan. Tapi bagaimana bisnis yang dijalankan bisa memberikan keuntungan dan keberkahan kepada semua pihak yang terlibat di dalamnya. Sehingga pada prakteknya sebuah usaha melakukan langkah-langkah yang harmonis dengan seluruh partisipan dan lingkungan tempat perusahaan berada. Singkatnya, para insan bisnis harus sadar akan nilai-nilai pragmatik nilai-nilai (the pragmatic value of values). Yang pada masa lalu, nilai-nilai (values) dianggap sebagai sesuatu yang dikotomis dengan pengelolaan perusahaan.
Dalam konteks ini, bisnis bukan hanya semata-mata persoalan memaksimalkan keuntungan bagi pemilik perusahaan. Tapi bagaimana bisnis yang dijalankan bisa mendatangkan keuntungan yang maksimum bagi pemilik perusahaan yang didapatkan dan dicapai dengan cara lebih memanusiakan manusia, dan melakukan langkah-langkah yang harmonis dengan seluruh stakeholder. Lebih dari itu, belakangan ini banyak ahli bisnis merasa telah menemukan cukup kasus yang mengungkapkan bukti-bukti bahwa bisnis yang tidak etis pada jangka panjang menyimpan faktor-faktor yang menghancurkan dirinya sendiri. Adapun perusahaan-perusahaan yang sangat mementingkan etika tetap langgeng dan berkembang hingga kini.
Pada umumnya implementasi dari etika bisnis yang berkembang sekarang ini diwujudkan dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR). Yaitu sebuah bentuk kepekaan, kepedulian dan tanggung jawab sosial perusahaan untuk ikut memberikan manfaat terhadap masyarakat dan lingkungan dimana perusahaan itu beroperasi.
Ada banyak ragam penafsiran tentang CSR. Salah satunya melihat CSR sebagai komitmen yang berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk berperilaku secara etis dan memberi kontribusi bagi perkembangan ekonomi seraya meningkatkan kualitas kehidupan dari karyawan dan keluarganya serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya. (CSR: Meeting Changing Expectations, 1999).
Menurut The World Business Council For Sustainable Development (WBCSD) in Fox, et al (2002), definisi CSR adalah “corporate social responsibility is the continuing commitment by business to be have ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large”, yaitu komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komuniti-komuniti setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Peningkatan kualitas kehidupan mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota masyarakat untuk dapat menanggapi keadaan social yang ada dan dapat menikmati serta memanfaatkan lingkungan hidup termasuk perubahan-perubahan yang ada sekaligus memelihara.
Berdasarkan pada Trinidad and Tobago Bureau of Standards (TTBS) menyatakan bahwa CSR diartikan sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarga, komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas.
Sedangkan Teguh Sripambudi (Puspensos, 2005:18) mengemukakan pengertian CSR dalam versi Word Bank, dimana CSR adalah komitmen dunia usaha untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan bekerjasama dengan tenaga kerja dan organisasi representasinya, dengan masyarakat lokal dan dengan masyarakat dalam lingkup yang lebih luas, untuk memperbaiki kualitas hidup dengan cara yang menguntungkan kedua belah pihak baik untuk dunia usaha maupun untuk pembangunan.
Seiring dengan perkembangan isu lingkungan global, konsep dan aplikasi CSR semakin berkembang, termasuk di Indonesia. CSR tidak semata menjadi kewajiban sosial perusahaan, namun juga dikaitkan sebagai konsep pengembangan yang berkelanjutan (sustainable development) . Sayangnya, dikarenakan belum adanya aturan baku dan pemahaman yang sama tentang pemberdayaan masyarakat, masih banyak perusahaan yang melaksanakan CSR hanya sekadar kegiatan yang bersifat insidental, seperti pemberian bantuan untuk korban bencana, sumbangan, serta bentuk-bentuk kegiatan charity lainnya. Apa yang disebut sebagai persoalan oleh perusahaan tersebut cenderung merupakan persoalan dalam konteks sempit, bukan perspektif skala kebutuhan di wilayah perusahaan tersebut beroperasi. Sehingga CSR tersebut hanya menuntaskan permasalahan yang belum menjadi prioritas utama. Yang pada akhirnya persoalan-persoalan yang sangat mendesak justru tidak memperoleh perhatian. Maka dari itu, sudah seharusnya CSR tidak hanya bergerak dalam aspek philantropy, melainkan harus merambat naik ke tingkat pemberdayaan masyarakat (Community Empowerment) dan harus merupakan salah satu bagian policy dari pihak manajemen perusahaan.
Dalam hal ini, dunia usaha harus dapat mencontoh perusahaan-perusahaan yang sudah terlebih dahulu melaksanakan program CSR dalam bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin. PT. Bogasari, misalnya memiliki program CSR yang terintegrasi dengan strategi perusahaan, melalui pendampingan para pelaku usah mikro, kecil, dan menengah (UMKM) berbasis terigu. Seperti yang telah kita ketahui, jika mereka adalah konsumen utama dari produk perusahaan ini. Demikian juga dengan PT. Unilever yang memiliki program CSR berupa pendampingan terhadap petani kedelai. Bagi kepentingan petani, adanya program CSR ini berperan dalam meningkatkan kualitas produksi, sekaligus menjamin kelancaran distribusi. Sedangkan bagi Unilever sendiri, hal ini akan menjamin pasokan bahan baku untuk setiap produksi mereka yang berbasis kedelai, seperti kecap Bango, yang telah menjadi salah satu andalan produknya.
Terlepas dari banyaknya nada-nada sumbang tentang wacana filantrofi perusahaan-perusahaan swasta ini dan banyaknya motif-motif yang mendorong sebuah perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya, CSR merupakan sebuah potensi besar dana non-pemerintah yang harus kita dukung sebagai embrio transformasi menuju kemandirian masyarakat. Kalau bisa kita optimalkan baik dari sisi pengalokasian dana maupun dalam proses pendayagunaannya bisa menjadi salah satu soluli alternatif bagi penyelesaian permasalahan kemiskinan yang ada di masyarakat. CSR juga bisa menjadi jembatan antara kepentingan perusahaan dengan kepentingan masyarakat. Sehingga hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungannya bisa berjalan dengan lebih baik, lebih harmonis dan saling menguntungkan.

Sumber : http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/09/12/implementasi-csr-untuk-pemberdayaan-masyarakat/ 
(diunduh pada tgl 29/10/2012)
 

Blogger Depi Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by web hosting